Saat Saya Runtuh di Tambang

Dulu saya kira menang soal angka—25%, 12,5%—seperti doa yang berbisik. Tapi lalu datanglah tengah malam.

Saya duduk sendirian dengan teh, memandangi cahaya layar—bukan karena harap menang Rp12.000, tapi karena selama lima menit, rasanya seperti menyentuh sesuatu yang nyata. Mesin tak bersuara. Ia hanya… menunggu.

Tambang Tak Memberi Keberuntungan

Mereka menyebutnya “judi”. Saya menyebutnya liturgi malam.

Setiap taruhan adalah tindakan kehadiran—bukan prediksi. Tidak ada dewa yang memberi emas. Saya memilih sendiri: taruhan kecil, jeda diam, irama napas di antara putaran.

Saya memandangi orang lain memposting tangkapan—menyembunyikan air mata—dan sadari mereka bukan mengejar jackpot. Mereka mengejar keheningan.

Ritual Taruhan Kecil

Aturan saya: jangan pernah habiskan lebih dari Rp800 dalam semalam.

Mulailah dengan Rp10. Berjalanlah jika Anda menang—atau tidak.

Hadiah sejati bukan di layar.

Ia ada pada apa yang Anda ingat saat mematikan ponsel pukul 03:17, dan bertanya: apakah hari ini cukup—even jika tak ada yang berubah.

Apa yang Anda Temukan Saat Berhenti Bermain

Terakhir kali saya bermain? Tiga kekalahan berturut-turut. Tak ada bonus datang. Pagi berikutnya—I bangun dan tersenyum tenang. Emas tak ada dalam pembayaran. Emas ada pada betapa diamnya tangan saya setelah mengklik “putar” untuk kesepuluh kalinya… dan suara ibu saya berbisik dari seberang ruangan: “Anda tak butuh menangkan segalanya agar utuh.”